Beranda | Artikel
Belajar Dakwah Nabi
Minggu, 21 Agustus 2016

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan atas seluruh agama. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya nabi pembawa rahmat dan teladan bagi umat.

Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, seorang muslim telah mendapatkan anugerah yang sangat besar dari Allah berupa hidayah. Hidayah untuk memeluk Islam. Hidayah untuk tunduk mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja, ini adalah nikmat yang sangat besar. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah memberikan anugerah kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), padahal sebelumnya mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang sangat nyata.” (Ali ‘Imran : 164)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah dengan memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar sehingga dengan sebab itu menjadi bersih jiwa-jiwa mereka dan tersucikan dari kotoran dosa dan keburukan yang dahulu melekat pada diri mereka ketika masih musyrik dan hidup di masa jahiliyah. Di dalam ayat ini Allah juga menjelaskan salah satu tugas rasul itu adalah membacakan kepada umatnya al-Kitab dan al-Hikmah; yang dimaksud ialah al-Qur’an dan as-Sunnah (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/158)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah membersihkan diri mereka dari syirik, maksiat, perbuatan dan perilaku yang rendah dan tercela serta segala macam akhlak yang buruk (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 155)

Perkara yang ma’ruf itu adalah segala sesuatu yang telah dikenali dan ditetapkan oleh syari’at berupa ibadah-ibadah dalam bentuk ucapan maupun perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. Adapun perkara yang mungkar itu adalah segala hal yang ditolak oleh syari’at berupa berbagai bentuk maksiat, kekafiran, kefasikan, kebohongan, ghibah, namimah, dsb (lihat keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhus Shalihin, 1/688)

Syaikh Utsaimin juga menjelaskan, bahwa sesuatu yang mungkar itu adalah segala hal yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia disebut mungkar ‘sesuatu yang diingkari’ karena pelakunya diingkari ketika hendak melakukan perbuatan itu (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 333)

Di dalam keterangan lainnya, Syaikh Utsaimin juga menegaskan bahwasanya perkara yang mungkar itu adalah segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah atau rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 236)

Para ulama juga menjelaskan, bahwasanya perkara yang ma’ruf itu mencakup segala bentuk ketaatan, dan ketaatan yang paling agung adalah dengan beribadah kepada Allah semata dan memurnikan ibadah untuk-Nya serta meninggalkan penghambaan kepada selain-Nya. Kemudian setelah itu dikuti segala amal yang wajib dan mustahab. Adapun perkara mungkar meliputi segala sesuatu yang dilarang Allah dan rasul-Nya seperti maksiat, bid’ah, dsb. Dan kemungkaran yang paling besar ialah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla (lihat penjelasan Syaikh Abdussalam as-Suhaimi hafizhahullah dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 62)

Dari beberapa nukilan dan petikan faidah keterangan di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan-kesimpulan yang sangat berharga bagi kita. Diantaranya adalah; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada umat manusia untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dengan inilah akan tersucikan jiwa dan perilaku manusia dari segala perbuatan dan sifat-sifat tercela. Semua bentuk sifat dan perbuatan tercela dilarang oleh agama dan disebut sebagai hal yang mungkar. Dan diantara kemungkaran itu yang paling berat dan paling berbahaya adalah syirik kepada Allah jalla wa ‘ala. Dengan demikian, mendakwahkan tauhid merupakan bagian dari amar ma’ruf yang paling wajib dan paling utama.

Termasuk dalam nahi mungkar juga adalah dengan melarang berbagai bentuk perbuatan dan keyakinan yang tidak ada tuntunannya alias bid’ah. Oleh sebab itulah dakwah Islam -dakwah menuju kejayaan Islam- tidak mungkin terwujud kecuali dengan mendidik manusia dengan tauhid serta membersihkan mereka dari segala kotoran syirik dan bid’ah. Dakwah inilah yang dahulu telah mempersatukan para sahabat -generasi terbaik umat ini- di bawah asuhan tangan Nabi akhir zaman sang teladan terbaik shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah, “Tidak akan memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.”

Dan suatu hal yang telah dimaklumi bersama, bahwasanya untuk menegakkan dakwah dibutuhkan bekal ilmu. Ilmu tentang syari’at, ilmu tentang metode berdakwah yang benar, dan ilmu tentang keadaan orang-orang yang didakwahi. Para ulama kita telah menegaskan, bahwa barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa ilmu maka tentu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar daripada kebaikan yang dia hasilkan. Demikian pula dakwah. Barangsiapa berdakwah atau menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar tanpa ilmu niscaya keburukan yang ditimbulkan olehnya akan lebih besar atau lebih banyak daripada kebaikan yang didapatkan.

Salah satu musibah yang kita jumpai di akhir zaman ini adalah munculnya orang-orang yang lebih mengedepankan semangat daripada ilmu. Lebih mendahulukan berbicara, berkomentar dan menulis tanpa memikirkan dan menimbang apa yang ingin dia lontarkan. Padahal kita semua tahu, bahwa ‘tidaklah terucap suatu perkataan melainkan ada di sisinya malaikat yang dekat dan senantiasa mencatat’. Saudaraku, memang setiap anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang terus-menerus bertaubat. Jangan putus asa… Mengakui sebuah kesalahan jauh lebih berharga daripada bertahan di atas seribu penyimpangan.

Info Donasi :

banner 1


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/belajar-dakwah-nabi/